#01
Ada
Cinta Lain di Hati Istriku
Oleh: Abi Yazid Bastomi
![]() |
www.google.com |
Setahun
sudah diriku mendirikan istana bersamanya. Alhamdulillah, kami sangat bahagia.
Susah dan senang kami jalani berdua. Saling mengerti, memahami, melengkapi dan
percaya itulah kunci dibalik hubunganku dengan istriku yang mana sampai pada
saat ini masih tetap harmonis. Kalaupun ada masalah, kami selalu memecahkannya
dengan kepala dingin. Namun rasanya ada yang kurang lengkap dalam istana kami
berdua. Ya, kami belum dikaruniai seorang anak atau “momongan”. Setiap
hari kami memanjatkan do’a bersama kepada Allah SWT supaya cepat diberi “momongan”.
Karena kami sangat mendambakannya.
**********
Sore
itu, istriku berada di taman depan rumah kami. Seperti biasa kegiatan rutinnya
tiap sore adalah merawat bunga-bunga di taman. Menyirami, memupuk dan menatanya
secara apik dan rapi. Sehingga rumah tampak begitu asri dan sedap dipandang
mata oleh setiap orang yang melihatnya.
Kebetulan
pada hari itu aku pun juga tidak ada kegiatan dan kantor pun libur. Sehingga
kuputuskan untuk membantu istriku di taman. Kulangkahkan kakiku dan
menghampirinya.
“Mas bantu ya, Dik!”
Tawarku padanya.
“Iya, boleh. Mas tidak
sibuk?” Tanya istriku.
“Ya tidaklah. Toh,
mengapa juga Mas kesini kalau sibuk. Ah...kamu itu, Neng.” Sahutku
sembari melontarkan senyum kecil padanya.
Memang dikala aku sedang ingin
bercanda dengannya, aku selalu memanggilnya dengan sebutan “Neng”.
Seperti anak-anak muda zaman sekarang yang sedang menggoda gadis-gadis. Mereka
selalu memanggil dengan sebutan “Neng”. Tapi ini lain halnya dengan
keadaanku sekarang ini. Dia sudah menjadi istriku yang sah menurut syari’at
Islam dan hukum negara. Dia sudah halal bagiku dan aku pun halal baginya. Jadi
takkan dosa diriku apabila menggoda dan memanggilnya dengan sebutan “Neng”.
Toh, istriku pun juga senang dipanggil demikian. Dapat dilihat dari raut
wajahnya yang tak menampakkan rasa marah ataupun kesal padaku. Malahan dia suka
tersenyum saat aku memanggilnya dengan sebutan tersebut.
Tak terasa kegiatan kami di taman telah
selesai. Rasa lelah dan letih tidak kami rasakan. Karena kami selalu mengiringi
kegiatan tadi dengan penuh canda dan tawa bersama. Selesai mencuci tangan dan
kaki yang kotor akibat kegiatan di taman tadi, kami berdua memutuskan untuk
duduk di teras depan rumah kami. Dengan ditemani 2 cangkir teh manis yang telah
kami siapkan sebelumnya. Sangat cocok sekali untuk melepas rasa lelah yang baru
kami rasakan kala itu. Kami pun mengobrol dengan asyiknya. Lagi-lagi kami
mengirinya dengan penuh canda dan tawa. Melihat istriku tersenyum rasanya hati
ini senang dan bahagia. Rasanya tak ingin diri ini sampai membuatnya menitikkan
air mata. Di sela-sela perbincangan, terlintas sebuah pertanyaan yang merasuk
dalam pikiranku.
“Dik,
boleh tidak Mas tanya sesuatu?” Tanyaku.
“Boleh,”
jawabnya. Tak lupa senyum manisnya ia bubuhkan dalam jawabannya.
“Apakah
kamu bahagia bersama Mas?” Sebuah pertanyaan aneh terlontar dari
bibirku.
“Wah,
Mas ini aneh-aneh saja pertanyaannya. Alhamdulillah, saya bahagia,”
jawabnya sambil tertawa kecil. Dan kusambut dengan senyuman.
“Apakah
kamu mencintaiku?” Sahutku sembari tersenyum padanya.
Dia
pun membalas senyumanku dan beranjak berdiri melangkahkan kakinya menuju
hadapanku. Lalu mencubit kedua pipiku.
“Iya,
Mas. Aku mencintaimu,” jawabnya.
Ia pun melepas cubitannya di pipiku. Lalu
membalikkan badan dan melangkahkan kakinya menjauhi tempat dimana ia sedang
berdiri di hadapanku tadi. Aku pun berdiri dan menghampirinya. Posisiku tepat
di sisi kanan ia berdiri.
“Adakah
cinta lain selain cintamu padaku?” Tanyaku kembali.
“Ada,”
jawab ia singkat.
Mendengar jawaban itu, darah dalam
tubuhku pun naik hingga ubun-ubun. Aku pun cemburu. Rasanya ingin marah, namun
diri ini tak sanggup melihat apabila sampai membuatnya menitikkan air mata. Ku
menghela napas panjang. Ini akan membuatku lebih rileks dan meminimalisir
kemarahanku padanya.
“Apa
aku mengenalnya?” Tanyaku.
“Mas
kenal Dia. Mas tahu siapa Dia. Dia selalu dekat dengan kita. Aku lebih
mencintainya daripada engkau, Mas.” Jawabnya.
Semua itu sungguh membuat aku
penasaran dan bertanya-tanya. Siapakah gerangan yang istriku maksud itu? Hati
ini dibuat bingung olehnya.
“Siapa?”
Tanyaku lirih dan singkat. Seolah tak ada rasa cemburu. Padahal dalam hati
sungguh sangat cemburu.
“Dia
adalah Sang Penguasa Semesta Alam Jagat Raya,” jawabnya lantang.
Bibirku bergetar seraya mengucap
kalimat tasbih. Tentunya yang dimaksudkan istriku adalah Allah SWT. Seketika
kupersembahkan sujud syukurku kepada-Nya yang telah menciptakan belahan jiwa
yang selalu tak henti-hentinya mengingatkanku akan Sang Pencipta yaitu Allah
SWT. Dalam sujudku kurasakan sentuhan tangan istriku yang menyentuh pundakku
dan aku pun bangkit dari sujudku. Kupeluk istriku penuh kasih dengan mata
berkaca-kaca. Dan tak terasa mata ini pun menitikkan air mata syukur
kehadirat-Nya. Tak kuasa melihatku menangis , istriku pun jua ikut menangis
dalam pelukan.
“Terima
kasih engkau telah mengingatkanku kepada-Nya,” ujarku sambil melepas pelukanku.
“Ingat,
jangan pernah engkau mencintaiku melebihi cintamu pada-Nya,” saran istriku.
Sungguh suatu saran yang harus kuingat
dan tak boleh kulupakan. Memang benar adanya jika akhir-akhir ini aku sudah
terlalu jauh dari-Nya. Rasa syukur pun mengisi segala isi ruang hatiku dikala
senja tiba. Dan matahari telah meredupkan pancaran sinarnya.
0 komentar:
Posting Komentar